..yang bernama sahabat

Saturday 7 September 2013

Wan Sari Perawan Istimewa

Aku terus mundar mandir.  Tilam kekabu yang elok tergulung di sudut bilik sesekala menjadi kerusi tak berkaki.  Sungguh aku keresahan.  Aku tak akan ke mana-mana seandainya terus begini.  Dinding rumah yang beku seakan mengejekku.  Angin malam yang dingin seakan menampar pipi, menempelak kebodohanku menanti adiwira seperti Pak Mun. 



Ayah akan terus mendesak.  Aku tahu ayah juga terdesak.  Desakan demi desakan menyebabkan kami dua beranak bagaikan kehilangan nyawa dan kehilangan arah.  Aku simpati dengan ayah dan ketuaannya.  Terus berdegil bermakna membiarkan tubuh tua itu dibanting disepak dan diterajang.  Disiksa sehingga nyawa beredar sedikit demi sedikit dari badan.

Saat itu nanti, siapa yang dapat aku harapkan membantu?  Pak Mun?  Mengangkat mukapun tidak pernah.  Mana mungkin dia mahu membantu.  Firasatku membisik begitu.  Pak Mun orangnya sangat terjaga.  Argh!  tak sudah-sudah mengharapkan Pak Mun.  Apakah dirimu tidak boleh bertatih sendiri.  Mencari solusi untuk menembuskan diri keluar dari gulatan masalah yang semakin hari semakin berselirat. 

"Ayah tahu kau tak sanggup jadi korban Wan Sari.  Tapi kalau kau berdegil, bukan sahaja ayah, malah seluruh kabupaten ini akan jadi arang dan debu.  Bukankah berbakti untuk nusa itu satu perkara yang baik?"

"Kenapa aku pula disuruh berbakti, ayah?  Ke mana perginya pemuda berdada bidang, bertenaga badang?   kenapa aku pula yang harus menjadi galang ganti duduk di depan sekali melindung kampung.  sedang kudrat aku, diikutkan, sekadar setimba air di dalam perigi yang dalam airnya,"

Mata tua yang selalu berair itu aku tatap.  Ketuaan ayah sudah semakin bermaharajalela.  Kewibawaannya sebagai bekas kepala kampung juga sudah kian reput dalam lipatan sejarah.  Sedang aku, biarpun mekar meranum intaian kumbang teruna namun keberadaan aku di sini mendatangkan petaka buat penduduknya.

"Mereka sudah menghidu kedewasaan kau sejak lama dulu Wan Sari.  Kata mereka, kau perawan istimewa.  terpelihara, bagaikan bayi yang lahir dalam bungkusan tembuni tergolek keluar dari rahim ibunya,"

"Apa istimewanya terpelihara kalau akhirnya ibarat lembu terkedang disembelih menjadi korban," getusku.  Ayah tunduk sambil menggulung daun pucuknya.  Semutar dikepala,diurai sebelum diikat semula. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...